Rendah Tak Selalu Buruk



Sore tadi, 28 Januari 2014. Anak-anak itu lucu, pintar, kritis, polos, dan selalu saja ingin tahu masalah pribadi. Jam yang seharusnya saya gunakan untuk bimbel sore tadi, ternyata berubah menjadi kelas berbagi. Kelas tempat saya membagi saat itu adalah kelas IX-C di MTs Tarbiyatusshibyan, Bogor. Kelas IX-C adalah kelas unggulan dari tiga kelas IX lainnya yang ada di sekolah itu. Kelas yang lebih produktif, kreatif, dan kritis.
Awal mula, saya berencana untuk memberikan salah satu materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya masuk ruang, duduk, memeriksa daftar hadir, dan kemudian bertanya dengan nada datar, “Belajar apa kita hari ini?”. Jawaban yang saya terima variatif, ada yang meminta mengulas kembali materi membaca denah dan ada juga yang meminta tentang puisi. Maka, saya sedikit teringat pertemuan bibel sebelumnya di kelas yang sama. Kala itu saya bertanya empat arah mata angin, dan meminta untuk mereka menunjukan asing-masing arah setelah saya menyebutkan arah tersebut. Melihat tangan membentang ke beberapa arah yang salah, saya sedikit agak geli. Akhirnya saya mengubah nama arah, yang semula selatan menjadi kidul, barat menjadi kulon, utara menjadi kaler, dan timur menjadi wetan. Tangan yang semula membentang ke berbagai arah, kini mulai tertata, didominasi ke arah yang tepat meskipun tidak semua. Apakah saya harus khawatir dengan peristiwa itu? Saya pikir tidak perlu terlalu dikhawatirkan, hanya perlu diluruskan arah mana yang tepat.
Membicarakan arah yang tepat, saya menjadi terpikir tentang harus diluruskannya sesuatu yang salah. Maka, saya mulai memberitahukan kepada anak-anak lugu itu tentang kekhawatiran saya terhadap nilai dan proses mendapatkannya. Saya pikir itu tak akan lama.
“Dari kurang lebih lima ratus siswa yang dibagi menjadi tiga kelas, kelas VII, VIII, dan IX. Setiap kelas dibagi menjadi beberapa ruangan. Hal itu, seharusnya menghasilkan keberagaman jawaban saat ditanya tentang pendapat/opini. Akan tetapi, pada kenyataannya, delapan puluh persen jawabannya seragam atau sama persis!. Baik kata-katanya maupun tanda bacanya!” saya mengungkapkan fakta itu kepada mereka setelah melihat dan memeriksa hasil pekerjaan dari setiap kelas. Saya sampaikan dengan nada penuh penekanan. Inti ungkapan yang saya sampaikan ialah mengenai mencontek, menyalin, atau plagiarisme.
Tak terasa tiga puluh menit saya membahas masalah kebiasaan mencontek, menyalin dan plagiarisme yang mulai menjadi kelaziman. Setelah semua saya anggap cukup, saya sedikit bingung ingin membahas apa. Melanjutkan materi semula, sepertinya akan menghilangkan kesan nasihat tentang mencontek, menyalin dan plagiarisme itu tadi. Maka, saya hubungkanlah dengan pengalaman saya sewaktu sekolah hingga kuliah lalu. Mulai tentang mata pelajaran, pelajarannya hingga guru mata pelajarnnya.
Pada titik tertentu, saya ceritakan tentang keterbatasan kemampuan saya terhadap materi yang di dalamnya terdapat hitungan. Cerita itu, saya hubungkan dengan cotek-mencontek. Saya memang tidak mahir berhitung bahkan sempat kesal dengan pelajaran tentang hitung-menghitung. Namun, bukan berarti menyerah menyelesaikannya yang akhirnya memilih jalan mencontek hasil pekerjaan orang lain. Saya lebih senang menciptakan rumus saya sendiri untuk menemukan jawaban dari soal yang diberikan. Saya mengungkapkan kepada mereka kalau saya pernah mendapatkan nilai C sewaktu kuliah, dan saya bangga. Kebanggaan itu karena kesadardirian dan keterbatasan saya. Merekapun riuh, tertawa geli.

0 komentar:

Posting Komentar