CERPEN; "Setangkai Bunga Luka untuk Naila"




Ini adalah cerpen yang saya tulis beberap tahun yang lalu, semasa saya kuliah dulu. Ingin kembali memuat tulisan ini karena sepertinya saya merasa ada yang istimewa pada salah satu cerita pendek saya ini. So... selamat membaca saja cerpen saya yang berjudul Setangkai Bunga Luka untuk Naila berikut ini.
____________________________________________________________________________

“Maaf Adinda, aku tidak bisa meneruskan langkah kita ini untuk menuju yang lebih sakral.”
“Kenapa Kanda?... Kenapa baru sekarang Kanda?... Kenapa baru sekarang berterus terang kepada Dinda?...”
“Kamukan tahu sendiri Adinda, bahwa baru sekarang ini kita bertemu lagi. Kamu hanya bisa memberi waktu sedikit dalam setiap tahun, bahkan tidak sama sekali Dinda. Aku tidak bisa terus menerus mengikuti langkah ini, aku tidak kuat Dinda.”
* * *
11 Januari 2005 tepatnya. Tepat di mana aku memulai memadu kasih dengan seorang gadis mungil dan manis. Gadis itu memang sebegitu menariknya sehingga membuat aku menjadi terbuai dengan alunan kasidah cinta. Waktu itu kami masih sangat belia. Naila mungil dan manis itu masih duduk di bangku SMP, sedangkan aku masih menempuh jenjang pendidikanku di bangku kelas dua SMA.
Pada awalnya, aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa Naila menyukaiku ketika melihatku berangkat menuju sekolah bersama Herman dan Muhammad. Sungguh kejadian yang menarik. Tanpa banyak alasan ia memintaku untuk berkunjung ke rumahnya. Memang permintaan itu tidak secara langsung ia katakan kepadaku. Ia menitipkan pesannya itu kepada temanku yang kebetulan masih terdapat hubungan keluarga antara mereka, Hendri namanya.
Hendri menyampaikan pesan itu ketika kami sedang bermain di sebuah pasar malam dekat rumah. Pertama mendengar pesan itu aku sedikit tidak percaya, sebab aku dan Naila sama sekali tidak akrab meskipun rumah kami sangat berdekatan. Ia jarang menegur ketika bertemu aku, dan sebaliknya begitu juga aku. Kami memang pernah bermain bersama, itu pun ketika kami masih SD, bahkan sebelum kami masuk SD sehingga membuat aku lupa untuk mengingatnya setelah itu, entah apa kabar dirinya. Hendri terus menguatkan fakta itu dengan kata-kata sumpahnya.
Setelah mendengar hal itu, keesokan malamnya aku melangkahkan kaki menuju  rumah Hendri dan membuktikan perkataan-perkataan yang ia sampaikan kemarin malam. Sengaja aku tidak langsung menuju rumah Naila, agar Hendri mau mengantarku dan membuktikan perkatannya. Ketika sampai di rumah Hendri, ia sedang asik memainkan gitarnya. Tanpa basa-basi aku langsung mengutarakan niatku kepadanya, dan ia mengiyakannya. Kami pun segera beranjak untuk mengetuk pintu rumah Naila.
Hendri langsung masuk, sementara aku menunggu di luar. Tidak lama, Naila keluar. Ia tersenyum malu ketika melihatku berada di luar, aku hanya menatapnya saja. Hendri langsung pamit untuk pergi, Naila memanggil-manggilnya dan meminta untuk tetap bersama kami, tetapi Hendri hanya tertawa dan kemudian melangkahkan kakinya, pergi. Kami terdiam dan hanya bisa menatap langit yang nampak indah dengan bintang-gemintang dan rembulannya.
“Ada apa Nai, memintaku untuk datang kemari?...” aku menanyakan yang sebenarnya tidak perlu aku tanyakan, tetapi aku tidak tahu harus berkata apa selain pertanyaan yang ada dalam pikirku itu. Aku tidak mau diam terus menerus.
“Memang A Hendri bilang apa sama kamu Ri?...” ia malah balik bertanya kepadaku.
“Ya kamu memintaku untuk datang ke rumahmu.” Jawabku singkat.
“Masa sih?.. boong tahu.” Sahutnya dengan tertawa kecilnya.
“Ya sudah kalau begitu aku pulang saja deh, dari pada menjadi tamu yang tidak diundang.” Bilangku tegas.
Nangan!. Ya sudah aku akui memang aku meminta kamu datang ke sini ko.” Jelasnya malu-malu.
Memangnya ada apa?” Tanya aku lagi.
“Memang nggak boleh yah? Apa kamu ada acara lain dan menjadi terganggu.” Lagi-lagi ia balik bertanya padaku.
“Ya… neggak gitu juga sih. Tapi kenapa tiba-tiba kamu memintaku dating ke rumahmu. Aku hanya kaget saja.” Jelasku padanya.
“Pengen aja.” Jawabnya singkat.
Pembicaraan itu terus berputar-putar hingga belum jelas apa tujuannya memintaku datang ke rumahnya malam itu. Meskipun aku sudah tahu jawabannya berdasarkan akal sehatku. Karena malam sudah semakin larut aku memutuskan untuk pulang. Ketika aku hendak pulang dan setelah mengucapkan sallam, ia memanggilku dan memintaku untuk datang lagi esok malam. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku.
* * *
Kini, sudah hampir satu tahun. Hubungan itu ternyata menjadi lebih signifikan dan mengarah kepada keseriusan. Semakin lama hubungan kami semakin hangat, sebab rasa kedewasaan yang semakin hari semakin tumbuh dan berkembang. Bagaikan kelopak bunga yang tidak mau gugur ketika sedang mekar, maka kami selalu berbenah apa saja kirannya yang perlu dilakukan untuk meraih masa depan dan hidup bersama kelak.
Hampir setiap waktu kami saling mengevaluasi tentang hari-hari yang telah kami lewati. Dari evaluasi itu, apabila ada hal yang gajil, kami mendiskusikannya. Selain itu, apabila ada kekurangan dan ada yang bersifat negatif, maka kami akan saling mengoreksi dan segera mencari jalan keluar bagaimana langkah sebaiknya. Begitu sangat bermakna hari-hari yang kami lewati, membuat aku tidak ingin pisah darinya, bahkan tidak pernah terlintas dalam pikir, untuk melepaskannya. Dia adalah seorang kekasih yang sekaligus menjadi guru bagiku.
Malam tidak akan tampak sebegitu menawannya tanpa kehadiran bulan dan bintang, yang menyinari malam itu sehingga menjadi terang. Siang tidak akan menjadi sumber kehidupan bagi manusia bila satu hari saja sang mentari tak menampakkan diri dengan sinarnya. Dia adalah garam dalam sayur kehidupan yang aku jalani. Ia adalah irama syair kehidupan ketika kemarau mulai muncul pada hati yang gundah-gulana.
Sebegitu berartinya kehadiran Naila dalam perjalanan kisah hidup yang sebelumnya begitu suram. Suram karena tiada harapan dalam hati, suram karena gelapnya awan perjalanan menyelimuti. Ia adalah mentari ketika manusia bosan akan hujan. Dia adalah hujan, setelah Tuhan menurunkan sinar kemarau ke muka bumi. Dialah Naila, wanita yang menjadi sepucuk bunga mekar yang dahannya enggan melepaskannya. Angin perubahan menuju harapan yang cerah ketika impian diselimuti kabut kelam, itulah Naila bagiku. Kelopak bunga yang terus mekar tiada pernah berkesan untuk gugur. Tiada kata putus asa.
* * *
“Kanda…” begitu Naila memanggilku dengan wajah yang penuh tanda tanya, seperti ada yang ia sembunyikan dariku.
“Ya, Adinda. Ada apa?... Apakah ada yang ingin kamu sampaikan kepada Kanda?...” sahutku mencoba memancing agar Naila mengeluarkan segala keluh-kesah yang ada dalam hatinya.
Semua hening. Naila tidak jua membuka mulutnya, ia hanya menunduk seperti diselimuti kesedihan. Entah apa yang sedang ia rasakan saat ini.
“Adinda, ada apa sebenarnya?... Mengapa kamu terlihat murung Dinda?...” tanyaku penasaran.
“Dinda tidak kuat untuk mengatakannya Kanda. Berat sekali untuk mengungkapkan semua ini.” Jawabnya, semakin membuat aku berada dalam keadaan bingung dan semakin bertanya-tanya.
“Katakanlah Dinda, Kanda ingin segala keluh-kesah yang Dinda rasakan dapat Kanda rasakan.” Sahutku sedikit memaksa.
“Begini Kanda. Sudah setengah tahun Dinda melepas waktu Dinda untuk berada di rumah dan bermain bersama sahabat. Dinda ingin ada perubahan dalam hidup ini, Dinda ingin mencari ilmu lagi Kanda untuk bekal di kemudian hari.” Jelasnya, yang sebenarnya aku sendiri belum begitu memahami.
“Maksudmu?” aku bertanya kembali, karena kekurangmengertinya aku akan kata-katanya itu.
“Dinda ingin pergi beberapa waktu untuk menambah segala pengetahuan juga wawasan Dinda. Dan ini waktu yang cukup lama.” Dia menjelaskannya sambil menatap lesu ke arahku.
“Jadi, Dinda akan pergi meninggalkan Kanda?” aku bertanya lagi dengan rasa penasaran.
“Iya Kanda. Tetapi ini demi Dinda dan masa depan Kanda. Sebenarnya Dinda juga berat sekali untuk melakukan hal ini, namun jika tidak, kesempatan ini tidak akan datang kembali Kanda. Salah satu yayasan menerima Dinda sebagai siswinya, dan Dinda dapatkan ini berkat beasiswa yang Dinda usahakan.” Tuturnya menjelaskan seperti memaksa agar aku menyetujuinya dan merelakan ia pergi.
“Kanda bisa berbuat apa Din… itu adalah hak kamu, itulah yang selama ini kamu usahakan. Maka, tiada alasan untuk Kanda melarangmu. Meskipun Kanda tidak ingin jauh darimu, Dinda. Ini akan terasa berat sekali bagi Kanda.” Ujarku lemah, seperti rembulan akan menemui pagi yang semakin lama akan semakin redup dan hilang.
“Dinda mengerti Kanda. Dinda juga merasakan hal yang sama, Kanda… tetapi yakinlah Tuhan akan mempertemukan kita nanti. Kini kitalah yang harus mengusahakan itu, apakah kanda bersedia menunggu Dinda?” kata-kata yang begitu tulus. Namun, sebenarnya hampir membuat harapan yang pernah ada, kini mulai terasa rapuh.
“Kanda akan berusaha, Dinda, mudah-mudahan Tuhan menolong kita dan mempertemukan kita kembali di kemudian hari. Tetapi biar bagaimanapun kanda memiliki rasa kekhawatiran akan diri Kanda sendiri. Kanda takut tidak bisa menjaga diri dan hati kanda ini, Dinda.” Terangku dengan rasa yang memang khawatir ketika jauh dari Naila.
“Mungkin inilah ujian Kanda, maka kini tergantung dari kita berdua. Biar bagaimanapun kita harus yakin agar kita kuat menghadapi dan melewati semua ini.” Rayunya dengan nada motivasi agar aku tetap tegar dan bisa bertahan.
“Baiklah , Kanda akan berusaha. Insya Allah kanda akan menunggu kamu hingga kamu kembali. Kanda hanya minta doa, agar Kanda di sini kuat menghadapi semua ini.” Jerit ikhlasku yang memaksa merelakannya pergi.
Dalam beberapa hari ke depan, Naila telah meninggalkanku. Kini aku harus menghadapi kehidupan ini sendiri lagi. Mentari yang terang yang biasa menyinari hati, kini berganti cahaya redup bulan ditemani bintang. Entah kapan mentari itu akan kembali menyinari hati ini. Aku tidak pernah mengetahui jawaban itu, hingga kini mentari itu masih belum jua menampakan diri. Meskipun demikian, aku yakin sang mentari itu sangat ingin kembali menyinari hati ini. Bahkan dengan cahaya yang lebih terang, melebihi cahaya yang dahulu pernah menyinari hati dengan kilau semangatnya.

Kini, akulah yang menjadi kekhawatiran tersendiri. Aku menjadi lebih khawatir terhadap perasaan yang ada pada diriku. Perasaan ini terasa mulai goyah, hati ini seakan terus dipanggil-panggil oleh suara lembut yang rautnya masih samar, buram, dan tidak nampak seutuhnya. Haruskah perjalanan ini berakhir dengan menyerahnya aku?... Haruskah pondasi yang sudah sekian lama terbangun runtuh hanya karena suara samar?... Kini aku harus mencari ketenangan hati, tetapi entah berada di mana ketenangan hati itu. Sampai saat ini aku belum menemukannya. Apakah ketenangan hati itu akan terus bersembunyai dan membiarkan aku porak-poranda karena hausnya belaian kasih sayang. Sementara suara suram itu kini mulai mendekat dan bernaung dalam hati yang sedang gulana.

0 komentar:

Posting Komentar