Berharap pada Bulan



Di sebuah desa yang sudah tersemar “polutan kekotaan”, terdapat sebuah keluarga. Keluarga itu memiliki seorang anak bungsu yang berjenis kelamin laki-laki berusia 28 tahun. Anak itu bernama Asrul, ia adalah seorang guru pada sekolah swasta di Kota Bogor. Dia memiliki dua orang kakak, satu perempuan dan satu lelaki. Kakak perempuannya bernama Via dan kakak lelakinya bernama Malik. Via seorang wanita yang tekun sedangkan Malik lelaki yang penuh percaya diri.


Setiap hari, kecuali jika hari Minggu atau Asrul sedang dilanda kemalasan juga sakit ia menjalankan tugasnya sebagai guru dengan Vespa tahun 1996 yang dibeli beberapa tahun lalu. Selain mengajar, ia memang disibukan dengan vespanya itu. Sesekali ia mencoba memperbaiki setiap apa yang dirasakan kurang stabil atau sekedar berkumpul bersama teman-temannya. Terkadang dirinya berpergian ke beberapa kota mengunjungi acara scooter, karena ia juga aktif pada sebuah komunitas persaudaraan scooter di daerahnya. Hal tersebut terkadang membuat dirinya lupa, bahwa ia semakin berumur setiap waktunya.

Kakanya yang perempuan, Via, sudah memiliki dua orang putra yang keduanya sudah duduk di bangku sekolah dasar. Malik sudah dua kali menikah dan memiliki dua orang putra dan dua orang anak putri. Via pun sudah dalam kehidupan yang serba berkecukupan hasil kerja kerasnya dan menjadi pegawai negeri di Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Sementara abangnya, Malik, lebih menyibukkan harinya dengan kegiatan keagamaan pada kelompoknya yang sering disebut Jamaah Tabligh.

Perlahan satu persatu sahabat Asrul mulai sibuk mencari nafkah unutuk anak dan istrinya setelah menikah. Asrul masih saja asyik dengan kesendiriannya, berselimut sepi dalam keharmonisan indahnya sebuah keluarga di benaknya. Ia mulai berpikir untuk segera menyusul teman-temannya, hidup dalam sebuah keluarga untuk menenangkan hati dan memiliki tujuan hidup yang leih jelas juga menghilangkan kebiasaan tidur larut bahkan tidak tidur dalam heningnya malam.

Dengan selembar kertas ia mulai menulis target-target untuk mencapai keinginannya melamar sang kekasih. Saat itu ia sudah memiliki kekasih yang sudah lama ia menjalin hubungan dengannya, jadi, tak perlu mencari siapa yang akan ia persunting kelak. Namun, dari beberapa usahanya untuk melamar kekasihnya ia selalu saja berujung kegagalan, terutama dalam mengumpulkan uang. Sudah beberapa kali ia berusaha untuk mengumpulkan gajinya diki demi sedikit, namun, selalu habis entah kemana. Terhapuslah slogan “hemat pangkal kaya” pada benaknya.

Pernah suatu hari Via menanyakan tentang kapan Asrul akan menikah, ia pun bingung menjawab dan menjelaskannya. Ia berpikir menikah pada saat ini tidaklah mudah seperti pada zaman Rasululloh SAW. yang maharnya cukup dengan cincin besi. Harapannya sekarang ini adalah kepekaan keluarganya, agar ia bisa dipedulikan oleh keluarganya untuk melangsungkan pernikahan yang ia inginkan. Namun, sepertinya kepekaan akan harapan itu seperti langit yang berselimut awan gelap, cerahnya langit hilang oleh awan itu. Hal yang demikian itu membuatnya harus terus berpikir.

Asrul berada dalam selimut kegamangan dan kegelisahan akan mimpinya tentang pernikahan. Ia mulai lelah dan bosan mendengar pertanyaan tentang menikah dari beberapa kawan di kampungnya dan juga rekan kerja. Ia pun sebetulnya ingin hidup dalam ketenangan hati, teratur, dan kebutuhan biologisnya terpenuhi secara benar. Semua itu berbenturan dengan keterbatasan penghasilan yang ia dapatkan. Sementara, usianya setiap tahun akan terus digerogoti waktu. Berharap dari gaji seorang guru honorer mungkin bisa, tetapi entah kapan akan tercapai.

Asrul berbicara pada bulan yang tidak bisa mendengar, menatap kosong menuju bulan dan duduk di atasnya. Di atas sana ia bercerita tentang harapannya, harapan tentang kasih sayang seorang istri dan kebahagiaan dalam canda-tawa bersama beberapa anak. Bulan tidak menjawab semua keluh dan panjang cerita yang ia ungkapkan, itu membuatnya semakin sedih. Ia seperti tidak memiliki keluarga dan menjadi lelaki yang terasing. Di tengah kebimbangan ia menulis surat untuk keluarganya.


Untuk Ummi, Bapa, Via, dan Malik jika membaca.

Aasrul minta maaf sebelumnya. Asrul merasa harus melakukan sesuatu meskipun Asrul tidak tahu apa yang harus Aasrul lakukan nanti. Asrul sudah cape dan bosan mendengar pertanyaan “Kapan lo nikah?” dari teman-teman Asrul. Oleh karena itu, Aasrul merasa harus pergi dari kampung agar bisa lepas menjauh dari sosok tanya itu. Asrul ingin menentukan takdir sendiri untuk menjawab pertanyaan itu di luar sana. Di luar yang jauh dari kampung mungkin Asrul akan menemukan jawabannya. Asrul akan kembali jika sudah mendapatkan jawaban itu nanti.

Asrul

Sebelum Asrul berangkat menuju Bandung untuk mengunjungi sahabatnya di sana. Asrul meletakan surat itu di atas kasur-tidurnya dan menindihnya dengan botol minyak wangi yang biasa ia gunakan.

Setelah beberapa minggu di Kota Bandung, Aasrul menerima pesan dari Via. Dalam pesan singkat yang ia terima pada telepon genggamnya itu menyatakan bahwa ia diminta untuk pulang. Via menuliskan bahwa semua hal menyangkut pernikahannya sudah disiapkan, bahkan calonnya jika perlu. Asrul sumringah membaca pesan itu, ia bergegas untuk mengemas barang-barang yang ia bawa. Setelah semua beres, ia mohon pamit kepada sahabatnya, Asep. Ia ingin segera tiba di rumah. Sepintas ia ingin mengabarkan kekasihnya bahwa ia akan melamar kekasihnya. Diambil telepon genggam dari saku celananya, ada satu pesan masuk dan belum sempat ia baca. Sebelum ia menulis pesan kepada kekasihnya, ia sempatkan untuk membuka dan membaca pesan itu yang ternyata dari kekasihnya.


“Kang Asrul, Bapak dan Mamah menannyakan tentang Akang beberapa hari belakangan ini. Namun, aku pun tidak tahu keberadaanmu, karena tidak pernah ada kabar dari Akang. Akang yang semoga dalam kebahagiaan, Dinda minta maaf sebelumnya, ternyata Bapak dan Mamah telah menerima lamaran seseorang yang sebelumnya aku tidak kenal. Namun, setelah beberpa kali aku dipertemukan akhirnya muncul perasaan suka kepadanya. Minggu depan akan dilaksanakan pernikahan aku dengannya. Sekali lagi aku mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Akang berhak marah dan membenciku setelah ini dan aku akan menerima. Namun, sekali lagi maafkanlah Dinda untuk ke depannya. Semoga Akang Aasrul mendapat jodoh yang lebih baik dari Dinda.”

0 komentar:

Posting Komentar