Perempuan Merah di Penghujung September

Oleh Helmy Fahruroji


“Kak, siapkan uang untuk sehabis lebaran ya” pinta Abdi pada kakaknya dalam pesan singkat sebuah telepon genggam.
“Memangnya sudah ada calonnya?” balas Alviy, kakak Abdi, yang mungkin sedang berada di kantornya.
“Sudah” Abdi menjawab pertanyaan kakaknya. Mereka saling balas pesan.
“Orang mana? Namanya siapa? Berapa umurnya? Kerja apa?” Abdi diberondong pertanyaan.
“Waduh! Nanti saja kenalan sendiri” itu adalah jawaban Abdi yang menjadi akhir dari berbalas pesan antara ia dengan kakaknya.

Abdi, bujang Betawi berusia dua puluh delapan tahun, sedang berpikir keras agar pernikahannya terlaksana di 2014 ini. Pemuda itu, sudah mengungkapkan kepada kekasihnya, Liyna, kalau ia ingin menikahinya setelah Idul Fitri tahun ini. Perasaan itu ia utarakan pada pertemuan saat ia datang langsung ke rumah Liyna. Ada perbincangan serius malam itu, setelah siangnya mereka berbalas pesan melalui handphone dan berjanji untuk berjumpa.
Malam Senin pukul delapan malam Abdi berdiri tepat di depan pintu rumah Liyna.
“Assalamualaikum” Abdi memberi salam dengan harapan ada yang membuka pintu.
“Waalaikumsallam” ternyata langsung Liyna yang menjawab dan membukakan pintu. “Masuk, Bang. Duduk dulu, aku mau ambil minum” sambutnya yang kemudian berlalu menuju dapur dengan senyumnya.
Tidak lama muncul kembali perempuan itu dengan segelas kopi hitam cap Lyon Bulan khas Bogor. Ia menaruhnya di atas meja dan kemudian duduk di sebelah Abdi.
“Sehat, Bang?”
“Alhamdulillah sehat, Liyn. Kamu sendiri bagaimana kabarnya? sudah lama juga tidak ketemu ya.”
“Masih tetap kurus, Bang” jawab Liyna sambil tertawa
“Kurus kalau sehat sih bagus, Liyn.” Abdi dengan senyum yang mulai memudarkan kekakuan suasana dalam ruang itu.
Pertemuan itu ada pertemuan yang ke sekian kali setelah dahulu mereka pernah menjalin hubungan, namun, kandas. Pertemuan itu membuat mereka kikuk kembali, seperti baru pertama kali bertemu.
“Oke, melanjutkan perbincangan lewat SMS tadi siang. Jadi, bagaimana menurutmu?” ujar Abdi.
“Itu serius, Bang?” tanya Liyna penasaran sambil menoleh ke arah Abdi, sehingga mereka saling beradu pandang.
“Aku serius, Liyn. Aku punya target tahun ini aku ingin menikah. Jika kamu siap dan bersedia, aku akan mempersiapkannya”
“Kenapa Liyna, Bang?” padahal sebelumnya Abang pernah menyerah menghadapi wanita keras kepala ini” ejek Liyna. Dulu sewaktu menjalin hubungan sebelumnya, Abdi memang menganggap dirinya adalah wanita yang keras kepala. Hingga pada akhirnya Abdi menyerah untuk melanjutkan hubungan mereka.
“Justru itu, dengan itu Aku sudah mengenalmu. Aku berpikir kamu juga bisa berubah, melunakkan kerasnya sifatmu itu nanti”
“Kenapa Abang bisa yakin seperti itu?”
“Dulu kamu pernah bilang kalau sudah bersuami pasti akan menurut kepada suami selama itu positif. Jadi, tidak ada masalah sepertinya”
“Haruskah Liyna jawab sekarang, Bang?”
“Kalau bisa ya sekarang. Agar aku bisa fokus dan mempersiapkan semuanya dengan baik.”
Liyna diam beberapa saat. Sebenarnya wanita itu sangat ingin menikah segera. Tetapi, ia juga masih ingin bermain, menghabiskan aku bersama teman-temannya. Hampir lima belas menit ruang tamu itu sepi. Sementara ada satu pikiran gelisah menanti jawaban dan satu pikiran menelusuri kepalanya mencoba menemukan jawaban itu. Hingga pada akhirnya, setelah hampir dua puluh menit, Liyna bersuara.
“Abang sudah bicarakan ini pada keluarga Abang?”
“Satu orang yang belum aku beri tahu, Alviy, kakak perempuanku. Kamu harus bertemu langsung sepertinya.”
“Kenapa, kok gitu?”
“Apabila kamu bersedia dan siap berdampingan denganku, nanti, akan ku kenalkan kamu padanya agar kamu tahu sendiri kenapa harus seperti itu.”
“Baiklah, Bang. Liyna siap dan bersedia” pernyataan Liyna dengan senyum sederhana. Ia menatap Abdi yang terlihat sumringah. Kembali mereka saling bertatapan.
Hubungan itu akhirnya menjadi hubungan kedua setelah beberapa waktu yang lalu mereka pernah terpisah. Abdi merasakan satu yang baru saat itu, ia memiliki titik yang harus ia tuju agar menjadi sebuah kalimat yang utuh. Satu hal yang masih ia khawatirkan tentang Liyna, ia hanya lulusan SMA. Kini menjadi pekerja outsourcing pada sebuah perusahaan di Jl. H. Soleh Iskandar, Kota Bogor.
Abdi harus menghadapi kakak perempuannya, Alviy, yang perfectionist, teliti, dan sangat mempertimbangkan kecerdasan intelektual dalam menilai dan memilih. Kakak perempuannya itu kini bekerja di Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Alviy menyelesaikan studi S1 di Universitas Lampung yang kemudian mendapat beasiswa S2 di Universitas Indonesia. Sebentar lagi akan menjalankan S3 di Eropa dengan beasiswa dari tempat ia bekerja.
Masalah pendidikan, menjadi patokan mendasar bagi kakaknya untuk menuju kesuksesan. Abdi lulus S1 dari Universitas Pakuan pun berkat bantuan materi dari kakaknya itu. Itu adalah alasan kenapa Abdi ingin mempertemukan langsung dua wanita itu. Dua wanita yang kedua-duanya berarti baginya. Dua wanita yang memiliki perbedaan signifikan, wanita perfectionist dengan wanita apa adanya yang berwatak keras. Pun keduanya mudah sekali tersinggung, itu yang lebih dikhawatirkan Abdi.
Waktu dini hari ia sudah berada di rumah. Lega perasaannya setelah semua sudah ia ungkapkan. Menyeduh susu, memutar musik, dan berbaring sambil berpikir. Doanya, semua harapannya akan tercapai. Susu habis diminumnya. Ia perlahan terlelap bersama harapannya.
Pagi pukul tujuh Abdi terbangun oleh dering handphone. Dibuka dan dibacanya pesan itu. Ternyata dari Alviy yang meminta agar sore nanti menjemput anaknya di sekolah. Masih dalam posisi di atas kasurnya, ia mengiakan permintaan kakaknya itu. Tidur ia lanjutkan. Senin adalah hari jatah libur yang ia pinta dari jam mengajar di sekolahnya. Ia bangun pukul sepuluh hari itu. Ia di rumah hingga sore hari. Saat sore tiba, Abdi menjemput keponakannya kemudian menemani mereka di rumah kakaknya. Sambil menunggu kakaknya pulang, ia dan keponakannya bermain play station dua milik keponakannya. Hingga akhirnya kakaknya pulang.
“Assalamuaikum”
“Waalaikumsalam” Abdi dan dua keponakannya menjawab. Dua keponakannya, Sahel dan Ekel, berlari menuju ibunya.
“Jam berapa tadi jemputnya, Di?” tanya Alviy kepada adiknya.
“Jam tiga”
Di sela-sela pembicaraan, Alviy menanyakan tentang rencana adiknya itu untuk menikah di tahun 2014 ini.
“Jadi kamu nikah tahun ini?”
“Jadilah, kan sudah di SMS tadi, minta siapin duitnya” ungkap Abdi sambil tertawa kecil.
“Ya kalau buat tambahan sih insya Allah bisa. Kenalkan dong ke kakak ceweknya.”
“Iya, nanti juga di ajak ke sini”
“Siapa memang namanya? Tinggal di mana?”
“Liyna, Kak. Ia tinggal di Kemang, depan Bilabong. Tahu kan?”
“Oh... dekat kok? Sudah kerja atau masih kuliah?”
Mendengar pertanyaan itu, Abdi terkejut dan bimbang untuk menjawabnya. Ia takut kalau kakaknya tidak sreg sebelum ia perkenalkan kekasihnya itu. Apalagi yang ditanya pekerjaan dan pendidikannya. Hal itu, makin membuat dia dalam kegelisahan kuat.
“Sudah, nanti saja ngobrol sama orangnya langsung. Bingung jelasinnya”
“Ya sudah, tapi harus pintar anaknya kalau mau jadi istri kamu. Kamu itu otaknya pas-pasan, biar bisa ditolong.”
“Lihat saja nanti. Ya sudah, Abdi mau pulang dulu sudah mau Maghrib. Assalamualaikum” Abdi bergegas setelah salaman kepada kakaknya itu.
Seminggu sudah, setelah Alviy menyinggung pernikahan dan ingin tahu seperti apa wanita pilihan Abdi. Abdi merasa ragu, takut kecewa atau mengecewakan kakaknya juga Perempuan Merahnya itu. Namun, ia harus tetap mengenalkan Liyna pada kakaknya. Kalau tidak, ia harus terus berada dalam selimut kegamangan.
Setelah ia memastikan kalau Liyna siap untuk di bawa ke rumah kakaknya, dan kakaknya sedang libur di hari Sabtu. Abdi mengajak Perempuan Merah itu untuk berkenalan dengan Alviy Sabtu itu. Pukul tiga sore Abdi menuju rumah Liyna untuk menjemput. Liyna sudah menunggu dengan bimbang dan sedikit ketakutan dalam hatinya. Apalagi setelah ia membaca pesan dari Abdi, jangan tersinggung apabila ada ucapan kakaknya yang menyinggungnya.
Saat perjalanan Abdi diam dan sesekali menarik napas dan melepaskannya kuat-kuat. Ia dalam kegelisahan. Hal itu membuat Liyna ikut terbawa dalam suasana kebingungan.
“Kenapa kamu, Bang, gelisah sekali? Seharusnya Aku yang dag-dig-dug
“Ah tidak, tidak apa-apa, cuma sedikit mengkhawatirkanmu. Tapi aku yakin kamu mampu dan bisa menyikapinya nanti saat di depan kakak ku”
“Segalak apa sih kakak mu itu? kok kesannya angker sekali”
“Bukan angker atau galak tapi seperti kebanyakan wanita. Bawel!” ungkap Abdi sambil tertawa.
“Jadi, maksud Kamu, Aku bawel!” Liyna merasa tersindir.
Keduanya tertawa dengan candaan-candaan. Sesaat hilang kegelisahan mereka. Namun, setelah tiba di gang masuk perumahan, mereka kembali dalam suasana sepi. Semakin dekat dengan rumah kakaknya, jantungnya semakin kencang berpacu.
Mereka tiba di depan rumah Alviy.
Abdi menaruh vespanya di dalam gerbang rumah kakaknya itu. Setelah mereka melewati beberapa tanaman hias di halaman rumah, dua pintu dengan cat kayu kecokelatan sudah berada di hadapannya. Rumah itu bercat putih dan bertingkat satu. Nampak dari jendela kakaknya sedang menyaksikan televisi sambil memegang buku. Liyna berdiri tepat di belakang Abdi.
“Assalamualaikum” salam Abdi sambil membuka pintu dan kemudian masuk.
“Waalaikumsalam. Ajak duduk dulu di situ, Di” jawab Alviy sambil menunjuk ke arah kursi di ruang tamu. Alviy sudah tahu kalau Abdi dan Liyna itu akan datang.
Alviy menaruh buku di baris ketiga rak bukunya yang panjangnya sekitar satu meter.
“Mau minum apa, Liyn?” tanya Alviy dengan santun. Sambil memperhatikan Liyna dan mencoba menebak usia atau menilai penampilannya.
“Apa saja, Teh” jawab Liyna datar.
“Aku buatkan teh manis hangat saja ya. Kalau Abdi biar dia buat sendiri saja”
Abdi hanya tersenyum mendengar perkataan kakaknya itu. Kemudian Alviy menghampiri mereka berdua sambil membawa teh manis hangat yang dibuatnya.
“Bagaimana kabarnya, Liyn?”
“Alhamdulillah, Teh, baik” sahut Liyna kemudian memuji rumah Alviya “Rumahnya enak teh. Adem”
“Ya, cukup memuaskanlah dari hasil menabung gaji beberapa tahun” jelas Alviy. “Kok bisa kenal Abdi dan mau sama dia, Liyn?” kakaknya berkata sambil tersenyum kecil dan menatap Abdi.
“Tidak tahu juga, Teh. Takdir atau apa ayah itu namanya” Liyna menjawab sambil tersenyum.
“Kamu sudah bekerja?”
“Sudah, Teh, di Mitra”
“Mitra? Apa itu?”
“Perusahaan penjual barang-barang alat berat, Teh, di Jl. H. Soleh Iskandar.”
“Sebagai apa kamu kerja di sana?”
“Penjaga saja, Teh, maklum saya hanya lulusan SMA, itu juga sistem kontrak kerjanya.”
“Berarti kamu outsourcing?”
“Iya, teh.”
“Emm.. begitu” sesekali Alviy menatap karah Abdi entah apa maksudnya. “Jadi kalian berencana akan menikah tahun ini?” lanjutnya.
“Insya Allah, Teh. Abdi yang mengajak, saya sih insya Allah siap dan bersedia.”
“Abdi ini kan seorang guru, kamu tahukan penghasilan guru itu berapa? kecil!. Apa kamu yakin Abdi mampu membahagiakanmu?” ungkap Alviy yang ketika berkata sesekali melihat Abdi.
“Menurut saya, kebahagiaan itu adalah syukur, Teh. Kalau saya bersyukur atas apa yang telah saya dapatkan dan saya miliki, maka , saya akan bahagia. Terus bersyukur, saya akan terus bahagia. Seperti halnya Abdi yang mensyukuri berapapun penghasilannya dan mensyukuri memiliki teteh yang baik seperti Teteh ini. Jika, memang Tuhan memilih saya menjadi istri Abdi dan Abdi menjadi suami saya, maka, saya akan mensyukurinya”
Abdi terus menatap Liyna. Ia tidak pernah membayangkan akan keluar rangkaian kata seperti yang diungkapkan Liyna. Ia tidak menduga, Perempuan Merahnya yang ia kenal keras kepala itu bisa meneduhkan hatinya. Sesekali Liyna menatap Abdi dengan senyum tulus yang indah, yang senyum itu baru Abdi rasakan saat itu. Seolah-olah Abdi tidak percaya peristiwa itu.
“Tapi sebaiknya kalian pikirkan juga persiapan-persiapan masa depan kalian. Walaupun materi bukanlah penentu kebahagiaan, tapi, itu termasuk salah satu bagian dari kebahagiaan juga” ungkap Alviy kepada Abdi dan Liyna. Kemudian perempuan itu bangkit “Ya sudah, kalian ngobrol saja dulu, Aku mau ke atas sebentar, melihat anak ku” Alviy langsung mengarah tangga dan menuju ruang atas yang di sana anaknya sedang tidur.
Abdi dan Liyna saling melempar senyum ketika Alviy hilang dari pandangannya. Namun, selang beberapa menit, Alviy memanggil Abdi dari ruang atas.
“Abdi, tolong ke sini sebentar” pinta Alviy yang kemudian Abdi langsung berdiri dan menuju lantai dua rumah kakaknya itu.
Di sana kakaknya sudah menunggu sambil duduk.
“Duduk sini!” perintah Alviy kepada adiknya “Kamu yakin dengan pilihanmu?” lanjutnya dengan nada agak penasaran dan penuh tekanan.
“Abdi yakin, Kak. Abdi yakin seyakin-yakinnya”
“Tapi kamu juga harus memikirkan anak-anak saat berumah tangga nanti. Kamu guru yang gajinya kecil, sedangkan Liyna pekerja outsourcing. Bagaimana nanti nasib masa depan kamu dan anak-anakmu? Kamu perlu rumah, peralatan rumah tangga, alat transportasi, biaya sekolah anak-anakmu nanti.”
“Aku pasti bisa, Kak, aku pasti bisa!”
“Bisa menikahinya dengan modal sendiri?!”
“Baiklah, Kak. Aku memutuskan akan tetap menikahinya dengan hasil kerja kerasku sendiri. Kakak mau setuju atau tidak atau bantu dan tidak bantu, aku akan tetap menikahinya!”

0 komentar:

Posting Komentar